LN - Biar Aku yang Jadi Telingamu!



BIAR AKU YANG JADI TELINGAMU!
Genre : Slice of Life. Romance,
Writer : Arya


Prologue

Hari yang cerah, langit yang biru rumput yang hijau, udara yang segar dan angin yang sepoi ini menjadi semangat baru ditengah suasana asing ketika masuk perkuliahan. Aku melihat gedung yang tinggi yang terlihat sangat terawat, begitu juga orang-orang yang berjalan dengan rapih mulai dari gebang hingga ke dalam gedung tersebut. Aku merasa akan terjadi hal-hal bagus hari ini. Hari ini setelah penyambutan mahasiswa baru, aku mencoba bergabung dengan sebuah klub kegiatan ekstrakulikuler yang aku inginkan. Namun perasaan akan terjadi hal-hal bagus hari ini pun berubah seketika saat keluar dari ruangan. Aku melihat sekerumunan orang yang berjalan kesana kemari seperti semut ketika membawa makanan ke sarangnya. Sungguh banyak dan membuat pusing untuk menatap dan berjalan ke depan hingga aku harus menundukan kepala dan menjaga keseimbangan badanku agar tak terjatuh dengan karena tersenggol lalu-lalang orang sebanyak ini. Aku tak menyangka akan sebanyak ini di hari pertama orang yang datang, lebih tak menyangka semua orang berjalan dengan cepat dan antusias seperti ini.  Mungkin mereka juga ingin mengunjungi klub yang mereka ingin masuki secepatnya, karena kudengar memang ada beberapa klub yang membatasi jumlah anggota baru untuk bergabung. Tiba-tiba aku mencium aroma rerumputan lagi, dan ternyata aku telah bebas dari kerumunan orang yang berlalu-lalang ketika mengangkat kepala ini. Memang disini adalah tempat yang baru ku kunjungi, tapi tetap saja, rasanya saat itu aku benar-benar tidak tau aku ada dimana.
Dengan membawa flyer aku menuju ruang yang tertera di flyer. Ketika tiba dan masuk awalnya kupikir ku salah membaca dan memahami map yang tertera di flyer, karena starting pointku pun aku tak tau dan karena ruangan yang kudatangi ini isinya berbeda sekali dengan klub yang ingin aku masuki. Aku kebingunan dan mempersilahkan diri untuk keluar ruangan lagi. Senior disana pun tak dapat membantu karena memang ia juga tak diinfokan tentang kemana ruangan penganti klub yang aku ingin masuki tersebut. Disarankannya aku untuk kembali melihat mading untuk melihat info yang terbaru. 
Singkat cerita, sepertinya aku tersesat, dan mungkin memang tersesat. Jengkel luar biasa, namun tak tau harus berlari kemana ataupun mengadu pada siapa. Suasana sudah menjadi sunyi senyap, semua orang seperti sudah menemukan ruangan yang mereka tuju masing-masing dan berdiam disana. Kecuali aku, yang masih berdiri dekat jendala, melihat sekitar dengan kebingunan kemana harus menuju. Ketika menundukan kepala sekali lagi untuk merenungkan dan memikirkan map yang tertera di flyer dan mencoba menemukan kemana arah mana kaki ini harus melangkah, ada seorang gadis lewati di belakang ku yang membuatku langsung membalikkan badan seketika berharap siapapun orang itu bisa membantuku keluar dari ketersesatan ini. “Permisi, boleh tanya ruang klub X dimana ya?” tanyaku dengan segera berharap mendapat jawaban secepatknya karena sudah tak tahan jika harus tersesat lagi. Namun ia mengabaikanku seperti acuh ada orang yang ia hampiri ini.  Permisi.. ku sapa lagi, sambil memperhatikan penampilannya yang ternyata tidak terlihat sedang menggunakan headset dan bertanya-tanya dalam hati, apa dia sengaja tidak menjawab? Siapa dia, apakah senior? Kenapa sombong sekali rasanya. “permisi~” sekali lagi kucoba memanggil sembari ia berjalan tanpa memelankan langkahnya. Sejenak tak terpikir untukku mencari ruangan, hanya ingin tau siapa ia dan mengapa sangat abai ketika ada seseorang yang benar-benar di sampingnya mencoba menanyakan sesuatu.
Ia hanya berjalan tanpa memperdulikan apapun hingga jarak beberapa langkah antara kami, kemudian ia menoleh ke belakang dan melihat ke arahku dengan wajah yang entah tampak biasa atau kebingungan karena ada seorang pria yang menatapnya. Dengan gelagat seperti takut akan tatapanku, ia melangkahkan kakinya berjalan lebih cepat sampai tak terlihat lagi olehku, dan mengembalkanku ke dalam kebingungan yang sebelumnya.

Chapter I
Meskipun terlambat akhirnya aku menemukan ruangan klub yang ingin ku masuki. Dan di dalam ternyata sudah berlangsung penyambutan kembali oleh ketua klub. “Semoga kita dapat menjalani tahun yang baik ini dengan hal-hal yang baik” itu adalah kata pentup sambutan ketua klub yang hanya bisa ku tangkap. “Luar biasa! Luar biasa!” moderator yang mungkin senior memberikan testimoni sebelum mempersilahkan ketua klub untuk kembali duduk. Sejenak setelah testimoni tersebut senior ini kemudian memanggil salah satu peserta baru untuk maju ke depan untuk perkenalan sebagai perwakilan peserta baru.
Seorang gadis dengan penampilan yang tidak terasa asing maju ke depan. “yang benar saja” di kepalaku, aku terkaget kaget karena ternyata tidak lain yang gadis itu muncul lagi. Ya gadis itu. Membuatku teringat semua kejengkelanku beberapa saat sebelumnya. Disaat kebingungan seperti menjadi anak tersesat ia menambahkannya dengan mengabaikanku. Gadis itu berdiri di depan ruangan menghadap semua yang ada di ruangan tersebut. Suasana sungguh menjadi hening seketika. Entah karena semua takjub akan parasnya, atau menunggu ia berbicara, atau mungkin hanya bosan akan pertemuan ini dan memilih untuk diam. Satu persatu gadis itu membalas seluruh tatapan yang mungkin aku takkan mampu melakukannya. Hingga akhirnya ia membuat seisi ruangan merubah duduknya dan mulai memperhatikan ke depan dengan baik-baik, ia membuka sebuah buku gambar besar yang ia bawa sedari tadi.
Tulisan pertama yang muncul adalah “Aku tidak bisa mendengar”. Bukan hanya perasaan dan telingaku, di ruangan yang tenang itu ternyata memang berubah menjadi ruangan yang riuh dengan suara tarikan napas yang panjang. Masing-masing sepertinya sangat terkejut dengan tulisan itu. Khususnya aku yang membawa rasa jengkel ini dan sekantung pertanyaan untuk gadis itu sedari tadi. Rasa jengkel dan semua pertanyaan menjadi terjawab dengan tulisan itu. Rasa bersalah mulai berdatangan, karena akhirnya aku mengerti tentang mengapa sikapnya seperti itu sebelumnya. Sedikit rasa lega juga datang karena, rasa jengkel dan pertanyaanku tidak pernah keluar dari mulutku. Setelah riuh berkurang ia membuka lembar selanjutnya, “Aku mencari Notetaker”. Kali ini bukan riuh suara napas panjang yang muncul namun suara bisik-bisik yang mempertanyakan istilah tersebut. “apa itu note-taker?” bibirku ikut bergumam mengikuti suasana ruangan dengan suara sangat kecil. Tidak lama ia membuka lagi lembar selanjutnya untuk berkenalan dan sebagaimana normalnya saat orang berkenalan. Namun aku yang punya rasa penasaran lebih ini tidak sabar untuk mengetahui apa itu note-taker, dengan segera membuka smartphone untuk mencari di internet tentang istilah tersebut dan mengabaikan perkenalan dirinya.
Sehabis pertemuan ia bergegas kembali maju ke depan ruangan kemudian Ia membagikan selembaran kertas kepada setiap orang yang keluar dari ruangan tersebut. Aku pun termasuk membawa selebaran tersebut dan tanpa bas abasi bergegas menuju kantin untuk mengisi perutku yang sudah menahan rasa lapar sejak tadi. Sembari bersiap menyantap makananku, aku memperhatikan sekali lagi selebaran yang ia bagikan, isinya ternyata tentang jawaban dari apa yang aku pertanyakan dalam kepalaku sejak pertemuan tadi. Tertera diselembaran tersebut tentang apa itu Notetaker, dimana isitilah ini baru pertama kali kudengar.
Note-taker adalah penerjemah tertulis, dan dalam tanda kutip menggantikan telinga orang yang mempunyai gangguan pendengaran yang parah.Dengan kata lain, itu seperti penerjemah simultan yang mendengarkan kata-kata pembicara dan informasi suara di tempat, dan kemudian menuliskannya tanpa penundaan. Di universitas, pembuaan catatan jugan menggantikan telinga siswa dengan gangguan pendengara yang parah, dan pada saat yang sama, isi ceramah ditulis dan diterjemahkan secara simultan sesuai dengan ceramah pengajar. Bagi orang dengan gangguan pendengaran yang parah, melihat caratan kuliah sama dengan mendengar. Pencatatan akan memungkinkan orang tersebut untuk mendapatkan informasi dan berpartisipasi pada  saat yang sama dengan orang yang mempunyai pendengaran normal.

Chapter II
Di pertemuan selanjutnya yakni setelah break makan siang, pada tengah ceramah tidak sengaja mataku melirik seakan ingin memperhatikan seperti apa keadaan yang sebenernya berdasarkan selebaran yang ia bagikan. Ia terlihat menyipitkan matanya untuk melihat ke depan yang membuatku selintas berpikir jika penglihatannya kurang baik,namun setelah beberapa lirikan rasanya mustahil karena yang ia tulis sebelumnya masih teringat jelas “aku tidak bisa mendengar”. Cukup lambat untukku bisa merngeti ternyata yang dilakukan sebenrnya adalah, ia mencoba untuk membaca gerak bibir pembicara untuk bisa mengerti apa yang dibicaran dalam kelas. Sontak aku merasa terenyuh, ada rasa kagum karena melihatnya berusaha untuk mengerti, namun juga ada rasa ingin membantunya. Dalam perasaan terenyuh tersebut, tanpat sadar badanku bergerak, berdiri dan berjalan perlahan menuju kursi di sebelahnya yang sedari awal kosong. Entah apa yang dipikirkan orang sehingga tidak ada yang duduk disana, atau mungkin karena selebaran sebelumnya juga yang membuat orang merasa tak sanggup untuk menjadi note taker untuk membantunya. Dan aku adalah salah satu orang yang juga berpikir seperti itu. Semua pikiran semacam itu berlalu-lalang dengan cepatnya di dalam kepalaku sampai tiba aku duduk di kursi sebelahnya.
Pulpen yang terhempas karena keluarnya perasaan jengkelnya karena mungkin sulit untuk mengikuti pembicaraan, berhenti bergulir bersamaan disaat aku duduk mencoba duduk di sebelahnya. Ia tanpak terjekut namun juga raut wajahnya seperti berbicara bahwa ia merasa lega karena ada yang datang dan sedikit berharap akan ada yang menjadi note-taker untuknya. Tanpa berkata apapun, setelah menempatkan diriku duduk di sebelahnya, aku mengambil pulpennya dan menggeser sedikit buku tulisnya untuk ku coba tulis apa yang dibacaran di ruangan. Namun, walau belum ku tulis satu katapun, diujung sudut mata ini terlihat ia bergerak merubah arah tubuhanya untuk mengarah padaku dan dengan gelagat yang aku pun tak paham arti dari gerakan itu, aku pun balas menoleh. Kali ini terlihat jelas ia tetap menggerakan tangannya sekali lagi, yang sepertinya ini adalah gerakan tubuh yang sama dengan yang sebelumnya tidak terlihat jelas olehku. Aku tak mengerti, sungguh tak mengerti. Keperhatikan sejenak apa yang ia ingin ungkapkan dan ternyata terlihat ia juga menggerakan bibirnya. Walau tidak terlalu jelas bagiku apa yang ia coba ucapkan. Saat kucoba meniru apa yang ia lakukan, dan gerakan tangannya, ia tersenyum manis sambal menggangguk, dan sekali lagi mecoba mengucapkan “te-ri-ma-ka-si”. Pada saat itu aku sungguh tidak mengerti apa yang ia ingin sampaikan hingga akhirnya iya menulisnya di catatannya “terima kasih”. Sungguh perasaan aneh bagiku ketika akhirnya mengerti gerakan tersebut. Aku sangat malu untuk pertama kalinya memperhatikan bibir seorang wanita seperti ini. Ditambah ternyata wajahnya sangat cantik terawat bak bidadari yang mungkin sedang turun dari surga jika dilihat dari jarak sedekat ini. Selain malu aku takut terlihat tidak sopan karena dibuatnya memperhatikan wajahnya seperti ini. Dan juga wajahnya yang belum berhenti tersenyum itu tetap menatap ke arahku, membuat lupa bahwa aku datang duduk disana untuk menulisanya apa yang dibicarakan di kelas untuknya.

Chapter III
Di jalan pulang sore itu, tanpa sadar aku mencoba menirukan gerakan “terimakasih” itu berkali-kali sehingga mungkin beberapa orang menatapku dengan penasaran apa yang aku lakukan. Membuka tangan namun merapatkan jari-jari seperi ingin hormat, menaruh tangan kiri agak di depan dada kanan lalu tanganku seperti hendak memotong jari tangan kiriku. Itu adalah cara bahasa isyarat yang artinya terima kasih. Aku sedikit merasa senang karena mempelajari hal baru, walau mungkin hanya satu kata terimakasih.
Sudah beberapa hari ini aku menjadi note-taker untuknya. Kali ini, bagiku ia terlihat semakin antusias untuk melihat apa yang kutulis tentang apa yang dibicarakan pada pertemuan kali ini. Ditengah pertemuan berlangsung, tidak sengaja aku melihat sesuatu ketika aku menulis untuknya. Sesuatu yang membuat detak jantungku berdegup lebih kencang. Mimik wajahnya, sungguh manis. Bukan pertama kalinya aku mencuri pandang untuk memperhatikan wajahnya ketika menulis, selain ingin melihatnya juga ingin memastikan bahwa apa yang ku tulis itu cukup jelas dan dapat ia pahami, karena ini memang pertama kalinya juga aku menjadi note-taker untuk seseorang, aku tidak mengerti apa yang sebenernya harus ku tulis dan bagaimana tulisan ku nantinya bisa cepat dimengerti dan tersampaikan maksudnya. Setelah kupikir-pikir menjadi note-taker ternyata membutuhkan kemampuan yang lebih baik dalam menyerap apa yang dibicarakan atau dalam tulisannya karena catatan tersebut akan menjadi pengganti pendengaran bukan? Terkadang aku merasa seperti orang hebat ketika memikirkan hal itu. Wakana pun pernah menulis tambahan di catatan yang kutulis, bahwa tulisnya bagus dan mudah dipahami untuknya. Ahh..semua ini jadi terasa menyenangkan.
Mimik wajahnya yang terlihat manis ketika antusias kali ini, membuatku terpana dan diam sejenak. Tanganku yang berhenti menulis disadarkan kembali olehnya dengan balas menolehku. “ada apa?” raut wajahnya heran melihatku, seketika aku mengelengkan kepalaku dan mencoba bersiap menulis kembali sambil mendengarkan yang dibicarakan pada pertemuan dengan memasang wajah tenang. Ia yang masih terheran pun melihat ke depan dan sekeliling mencoba mencari sebab mengapa aku berhenti menulis tadi. Sebenarnya di kepalaku ada banyak teriakan pertanyaan kenapa aku melihatnya seperti tadi??! Rasa malu dan takut dianggap tak sopan kembali mengelilingin pikiranku sampai akhir pertemuan.

Chapter IV
Seperti biasa ketika break makan siang aku berkumpul bersama temanku untuk duduk bersama baik makan, minum ataupun hanya bersenda gurau di kantin. Dari kejauhan, aku seperti melihat sosok yang kukenal di dekat jendela. Semakin kuperhatikan semakin ku ingin hanya menoleh kesana, dan benar saja, ia disana. Dengan kopi regular size sebelahnya, smartphone  dihadapannya yang samar samar telihat seperti sedang melakukan video call dengan seseorang. Ia terlihat menggerakkan tangannya berbagai posisi yang sekarang aku mengerti itu adalah bahasa isyarat, dan juga yang aku mengerti aku tidak mengerti sama sekali dengan semua gerakan tersebut. Karena yang baru kupelajari hanya bagaimana mengucapkan terimakasih dalam bahasa isyarat. Teman-temanku yang melihatku menjadi ikut penasaran kemana arah ku menoleh, dan menemukan hal sama y seperti yang aku lihat. Ketika ku beritahu bahwa aku mengenalnya, salah temanku mengusulkan untuk aku pergi kesana dan mengajaknya untuk bergabung dan duduk makan bersama. Aku menolak usulan tersebut dengan alasan aku akan mengajaknya lain kali saja. Karena aku merasa aku harus memberitahukan terlebih dahulu, aku takut ada yang merasa tidak enak hatinya, baik ia ataupun teman-temanku nantinya. Saat kembali menoleh ke arahnya, aku melihat betapa riangnya ia berbicara dengan sesorang di video call tersebut, yang aku tidak tau siapa ia. Entah darimana tiba-tiba timbul rasa cemburu ini, ingjn tau siapa yang bisa membuatnya tertawa seperti itu.
Ketika hari itu berakhir, perasaan yang tertinggal setelah pemandangan di kantin sebelumnya membuatku merasa ada yang sangat kurang hari itu, jika aku pulang mungkin aku tidak akah bisa tidur. aku mencoba menyempatkan diri ke perpustakaan untuk meminjam sebuah buku. Buku bahasa isyarat. Tidak terlalu mengerti alasan sebernya mengapa aku mencari dan mimnjam buku ini, namun aku tetapkan aku akan mempelajari bahasa isyarat. Kembalilah aku ke kampus dan menuju rooftop untuk membaca buku ini disana. Hanya beberapa halaman yang kubaca hari itu banyak yang baru aku mengerti, namun banyak pula yang semakin aku tidak mengerti tentang gerakan bahasa tubuh ini. Mungkin aku akan coba tanyakan padanya esok.

Bersambung...