Langit
Senja yang Menyelimuti Kota Sore Itu
"Adiiiiittt... bangun nak! katanya kamu ada kuliah hari ini,” teriak
Ibu yang sedari tadi berdiri di depan pintu kamar Adit.
“iya... sebentar lagi bu," ucap Adit, lesu. Nampak kelopak matanya
masih enggan terbuka meski jam sudah menunjukan pukul 9.
"Buru bangun nak!" Ibu masih terlihat gigih membangunkan
Adit. Entah apa yang membuat anak semata wayangnya ini masih tertidur sampai
jam segini, pikir Ibu. Yang jelas Ibu mulai merasa jika membangunkan anaknya
lebih merepotkan daripada membuat sarapan untuk orang rumah.
“Iya... Adit bangun," Ucapnya sembari meraba-raba ponsel pintar
miliknya untuk melihat jam, nampak indikator baterai ponsel yang sudah merah
akibat dipakai bermain game online semalam suntuk.
"Kalo udah bangun buruan mandi! Bila udah nungguin tuh di
depan."
"*Krekk" dengan segera Adit bangkit dan membuka pintu kamar. Ini
merupakan rekor tercepatnya. Biasanya Ia membutuhkan waktu 5-10 menit untuk
sekedar “mengumpulkan nyawa."
“Bukannya bangunin dari tadi Bu," Wajah Adit terlihat begitu segar
untuk seseorang yang baru saja bangun tidur, seolah Ia tak perlu mandi untuk
berangkat ke kampus.
“Emangnya kamu pikir Ibu dari tadi ngapain?! Ngobrol sama pintu?!"
ucap Ibu yang terlihat mulai kesal.
“Emang kayaknya harus Bila yang bangunin kamu tiap pagi,"
sambungnya.
“Nah, kalo bisa sih gitu Bu" ucap Adit sedikit bergurau.
“Dasar kamu ini yaaahhh...!!" Ibu yang sedari tadi mulai kesal
akhirnya melancarkan serangan “cubitan Ibu” yang tepat mengenai pinggang Adit.
“E-eehhh... iya Bu, becandaa.... ampuuun..." ucapnya, kesakitan.
“Udah buru sana mandi, Bila juga gak mau berangkat bareng sama orang
yang bau iler!" seru Ibu.
“Emang bau iler yah?" timpal Adit.
“Eeeeehhh... pake nanya lagi! Mandi buruuu...!!" Perintah ibu yang
kesal dengan tingkah anaknya ini.
“E-eh, Iya Buuu...” Adit yang tidak mau terkena serangan “cubitan Ibu”
untuk kedua kalinya dengan segera mengambil handuk.
Seperti biasanya, setiap pagi di rumah itu tampak begitu ramai meski
hanya di huni oleh dua orang. Ayahnya tengah bekerja di luar kota dan hanya
sesekali pulang ke rumah. Tanpa tingkah laku Adit rumah itu mungkin akan
benar-benar terasa sepi.
。。。。。。。。。。。。。。。。。。。。。。。。。。。。。。
“Ini dia kebo baru bangun, jangan lupa ilernya dilap tuh" ucap
Bila sembari menggoda teman masa kecilnya ini.
“Apa sih Bil... orang udah mandi juga," sahut Adit sembari
mengendus-endus kemejanya yang sudah disemprotkan parfum milik ayahnya. Ia sangat
jarang memakai parfum dan hanya memakainya untuk saat-saat tertentu saja,
karena itulah Ia tidak punya parfum pribadi dan selalu menggunakan milik
ayahnya.
"Tumben gak berangkat bareng sama Sita?” tanya Adit.
“Iya, kata Ibunya Sita lagi demam, jadi gak ngampus dulu untuk
sementara.”
“Ya ampun, semoga cepet sembuh yah. Mana sebentar lagi UAS” Adit nampak
mengkhawatirkan Sita yang merupakan teman akrab Bila sejak masuk ke perguruan
tinggi. Mereka tinggal di komplek perumahan yang sama, sekitar 15 menit
berjalan kaki dari rumah Adit.
"Yaudah yuk jalan!" ucap Adit yang tak ingin Bila terlambat
masuk kelas karenanya.
Adit sudah kenal dengan Bila sejak mereka duduk di bangku Taman
Kanak-kanak, mereka begitu akrab dan selalu terlihat bersama. Adit bahkan terlihat
lebih sering bermain bersama Bila daripada dengan anak laki-laki seusianya. Mereka
bersekolah di sekolah yang sama. Hingga akhirnya ketika lulus Sekolah Menengah
Pertama, Bila terpaksa harus pindah rumah ikut bersama ayahnya yang ditugaskan
di luar pulau selama 3 tahun.
Kala itu Adit begitu sedih karena harus berpisah dengan teman masa
kecilnya. Namun meski terpisah jarak, komunikasi antara keduanya tetap
terjalin, setidaknya untuk tahun pertama. Ditahun-tahun berikutnya mereka sudah
jarang berkomunikasi, hanya sesekali berbalas pesan dihari-hari penting saja
seperti ulang tahun dan hari raya Idul Fitri. Mungkin karena mereka sudah
mendapatkan teman-teman baru dan disibukan dengan kegiatan masing-masing. Hingga
akhirnya mereka berdua lulus dan akan melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi.
Adit senang bukan main ketika Ia mendengar kabar bahwa teman masa
kecilnya itu akan kembali menghuni rumah lamanya, Ia semakin senang ketika tahu
bahwa Bila akan masuk ke Perguruan Tinggi yang sama dengannya. Mungkin orang
tua Bila tak ingin anaknya jauh, karena itulah Ia dimasukan ke Perguruan Tinggi
terdekat. Sebuah pemikiran yang sama dengan orang tua Adit yang tak ingin anak
semata wayangnya berada jauh dari rumah.
Mata Adit pun berbinar-binar ketika pertama kali melihat sosok Bila
setelah 3 tahun berpisah, Bila tumbuh menjadi remaja yang sangat cantik dan
rupawan.
。。。。。。。。。。。。。。。。。。。。。。。。。。。
"Yaudah, Aku masuk kelas dulu yah," ujar Bila yang tengah
memegangi handle pintu berniat akan masuk ke dalam kelas.
"Eh, tunggu Bil" ucap Adit, menghentikan pergerakan Bila yang
tadi sudah hendak membuka pintu kelas.
“Iya, kenapa Dit?"
"Aku minjem catatan matkul sosiologi kamu dong, kamu kan udah
matkulnya kemarin," sebetulnya Adit bisa saja meminjam catatan ke orang
lain atau tidak perlu meminjam catatan sama sekali untuk matkul yang Ia anggap
membosankan itu. Adit bukanlah tipe orang yang gemar mencatat saat pelajaran,
bahkan buku bindernya pun nyaris bersih tak tergores meskipun Ia sudah berada
di semester ke-2 nya. Hal itu Adit lakukan hanya agar Ia dapat mengembalikan
buku catatannya kepada Bila setelah perkuliahan selesai, dengan begitu Ia dapat
sekalian mengajak Bila untuk makan siang bersama. Rencana ini sudah Adit pikirkan
ketika dalam perjalanan menuju kampus. Sebuah strategi yang cerdik untuk dapat
akrab kembali dengan teman masa kecilnya itu. Wajar saja, semenjak masuk ke
Perguruan Tinggi mereka tidak seakrab dulu. Bila lebih akrab dengan Sita yang
sekelas dengannya.
“Oh, boleh. Tunggu ya..." Bila melepaskan tangannya dari handle
pintu dan segera membuka tas miliknya.
"ini," Ia menyerahkan buku binder dengan sampul gambar menara
eiffel.
"Nanti Kamu nyatetnya gimana?"
“Tenang, aku masih ada buku catatan lain," memang seperti yang
diharapkan dari mahasiswi dengan IPK nyaris sempurna. Ia bahkan selalu siap
untuk situasi seperti ini.
“Oke deh, thanks ya. Nanti habis kuliah Aku balikin" Adit
menerima buku catatannya dan segera pergi ke kelas dengan ekspresi wajah
seperti anak kecil yang diberi amplop berisi uang saat hari raya Idul Fitri.
Jam istirahat telah tiba, Adit yang sedari tadi menahan rasa kantuk di
kelas akibat kurang tidur ditambah kuliah yang membosankan membuat rasa
kantuknya semakin menjadi. Ia terlihat beberapa kali hampir tertidur, namun Adit
nampaknya sangat menantikan bertemu dengan Bila setelah perkuliahan selesai
membuatnya tetap terjaga dan tidak terbawa ke alam mimpi.
Setelah dosen meninggalkan kelas, Ia segera bergegas menuju kelas Bila.
Melewati beberapa kerumunan mahasiswa sembari memegangi buku catatan itu. Langkahnya
semakin cepat ketika dari kejauhan terlihat pintu kelas yang sudah terbuka. Dan
benar saja, kelas itu sudah kosong. Tampak hanya ada dua orang mahasiswi yang
tengah asyik mengobrol di dalam kelas. Ketika ditanya, ternyata Bila sudah pergi
lebih dulu bersama dengan seorang pria bernama Fajar. Ya, seorang pria yang
saat ini berpacaran dengan Bila. Pria yang sangat Ia benci karena telah merebut
teman masa kecilnya.
Dengan masih memegang buku catatan, Adit berjalan menuju kantin setelah
Ia bertanya kepada beberapa orang tentang keberadaan Bila. Terlihat dari jauh
sepasang kekasih yang tengah bercanda gurau, begitu akrabnya hingga tak sadar
beberapa orang tengah memperhatikan mereka, termasuk Adit. Entah hal apa yang
mereka bicarakan hingga seakrab itu. Padahal sedari tadi Adit sudah menanti-nantikan
hal tersebut. Kini Ia hanya bisa membayangkan dari kejauhan, membayangkan jika
dirinya berada diposisi Fajar. Fajar memiliki hal yang tidak Adit miliki, popularitas,
kekayaan, dan cinta.
Sudah sejak lama Adit memiliki perasaan ke Bila, perasaan itu muncul
ketika mereka berdua terpisah. Wajar saja, ketika SMP mereka belum mengerti
apa-apa soal perasaan. Ketika masuk perguruan tinggi, Adit akhirnya
memberanikan diri untuk menyampaikan perasaan yang sudah Ia pendam selama
bertahun-tahun. Namun nampaknya perasaan itu harus pupus, Bila tidak memiliki
rasa yang sama seperti yang Adit rasakan. Bila menganggap Adit hanya sebatas
teman masa kecil, tidak lebih. Karena hal ini lah komunikasi diantara keduanya
menjadi canggung dan mereka menjadi tidak begitu akrab. Fajar memanfaatkan
kesempatan ini untuk mendekati Bila hingga akhirnya mereka berpacaran.
“Wanita mana yang tak tergiur oleh uang," pikir Adit. Wajahnya
tertunduk sembari menghela nafas. Ketika itu lah Ia melihat buku catatan Bila
dan segera tersadar. Ia harus mengembalikan bukunya dan segera pergi.
"Bila."
"Eh, Adit," Ucap Bila, menoleh ke arah Adit.
“Udah minjem bukunya?"
“Udah nih, thanks ya,” Ucap Adit sambil menyerahkan buku catatan
milik Bila.
"Sama-sama."
"Kalo gitu aku pulang duluan yah." Nampaknya Adit tak ingin
berlama-lama berada di dekat keduanya. Terutama Fajar. Lantas Ia segera
melangkahkan kakinya, berjalan menjauh.
"Buru-buru banget Dit," ucap Fajar. Ucapannya ini membuat
langkah Adit terhenti. Perlahan Adit berbalik ke arah belakang.
"Kok hari ini gak naik sepeda?"
Untuk waktu yang singkat Adit terlihat mengepalkan tangannya, dan
perlahan membukanya kembali setelah Ia menghela nafas panjang. "Iya, lagi
pengen jalan kaki aja, hehehe..." Ucap Adit sembari menyeringai dan
tertawa yang terkesan dipaksakan. Tak ingin berlama-lama lagi, Adit berbalik
badan dan berjalan secepat mungkin.
Adit harus merelakan harapannya untuk kembali dekat dengan Bila. Apa
yang Ia alami pagi ini, berangkat ke kampus bersama tak lebih hanya sekedar
ilusi semata. Bukannya tak paham, Adit paham betul dengan situasi yang Ia
hadapi. hanya saja Ia tetap bertaruh pada secerca harapan yang masih tersimpan
jauh dilubuk hatinya.
。。。。。。。。。。。。。。。。。。。。
Hari demi hari terus berlalu, komunikasi antara Adit dan Bila kian renggang
bahkan mereka tak terlihat seperti teman masa kecil yang sudah saling mengenal
cukup lama. Tak bedanya seperti orang asing. Disisi lain, hubungan Bila dengan
Fajar kian dekat. Fajar bahkan sudah beberapa kali berkunjung ke rumah Bila, dan
Bila pun sudah beberapa kali di ajak main ke rumah serta villa pribadi milik
keluarga Fajar. Namun karena kedua orang tua fajar yang sibuk bekerja, Bila dan
Fajar lebih sering menghabiskan waktu berdua di rumah yang terbilang cukup
luas.
Belakangan Adit mendengar desas-desus kabar yang kurang mengenakan dari
keluarga Bila. Dikabarkan orangtuanya tengah menyiapkan surat perceraian. Ia
mendengar kabar ini dari Ibunya. Keluarga Adit dengan keluarga Bila memang
sedari dulu sudah akrab. Jadi untuk hal-hal seperti ini tentulah mereka tahu,
tapi tidak bisa berbuat banyak. Karena hal inilah Bila tidak betah berada di
rumah dan sering menghabiskan waktu di luar bersama Fajar.
Hingga suatu hari, Bila ingin bertemu dengan Adit di kantin. Ada
sesuatu yang ingin Ia bicarakan dengan Adit, sesuatu yang sangat penting. Adit
yang masih terheran dengan ajakan secara tiba-tiba dari teman masa kecilnya ini
menunggu dengan raut muka yang bertanya-tanya. Hal penting apa yang ingin Bila
bicarakan dengannya. Yang pasti Ia berharap bukan hal yang lebih menyedihkan
dari perceraian orangtuanya. Karena Ia tak sanggup melihat Bila lebih sedih lagi
dari ini.
Ketika keluar kelas dan hendak menuju kantin, Adit bertemu dengan Asep,
seorang Office Boy yang bekerja di kampus yang juga sering menjadi teman main game
bareng. Sejak awal masuk Perguruan Tinggi, Adit memang sudah akrab dengan Asep.
Mungkin karena mereka memiliki hobi yang sama. Terlihat Asep yang tengah
berdiri membuka kunci pintu gudang yang terletak tidak jauh dari kelas Adit.
Gudang ini dipakai untuk menyimpan kursi-kursi dan meja yang telah rusak atau
patah.
"Ngapain Sep?" tanya Adit yang penasaran dengan apa yang
dilakukan Asep di gudang lantai 4.
"Eh, Adit. Ini Dit, disuruh bersih-bersih gudang" jawab Asep.
"Oh, gitu. Kirain lagi ngapain."
“Bawa Charger gak? Minjem dong. Gak kebawa di rumah
soalnya." Sambungnya.
“Charger? Ada nih, pake aja." Asep menyerahkan charger miliknya.
"Oke, Minjem dulu yah."
"Iya, pake aja."
“Nanti malem mabar lagi gak?"
“Pasti dong."
"Yaudah, ke kantin dulu yah. Ditungguin orang. Makasih buat
chargernya"
Adit melanjutkan perjalanannya ke kantin. Berharap Bila tidak sampai
menunggu lama untuk dirinya. Namun ketika sampai di kantin, ternyata Bila belum
tiba di sana. Karena Adit menjadi yang pertama tiba, Ia pun segera memilih meja.
Mungkin saja apa yang Bila ingin bicarakan dengannya tidak ingin di dengar oleh
banyak orang, oleh karenanya Adit memilih meja yang sedikit jauh dari keramaian.
Gugup, senang, penasaran, Rupanya Adit harus rela menunggu kedatangan Bila
dengan ditemani perasaan-perasaan yang bercampur aduk.
Hari itu entah mengapa suasana kantin terlihat lebih sepi dari
biasanya. Dari kejauhan terlihat Bila berjalan mendekat, mukanya tampak serius
seperti seseorang yang sudah membulatkan tekadnya. Terlepas dari banyak
pertanyaan yang timbul dalam benak Adit, Ia begitu senang dapat berbicara
kembali dengan Bila. Harapan-harapan kecil yang kerap kali Ia pertaruhkan belum
sirna. Sekarang Ia hanya memikirkan seperti apa pembicaraan yang akan mereka
lakukan nanti, bagaimana caranya agar obrolan terlihat menarik. "Mungkin
sedikit lelucon dapat mencairkan suasana biar tidak terlalu tegang. Tapi, lelucon
seperti apa?", “Pas Bila mendekat mungkin lebih baik berdiri dan menyapa",
“Atau sebaiknya duduk saja?". Ketika Adit tengah sibuk memikirkan hal-hal
tersebut, tanpa sadar Bila sudah berdiri tepat di depan meja kantin yang Adit
tempati. Ia pun sedikit terkejut dan segera berdiri.
“Eh, Bila. Gimana tadi kuliahny--"
“Dit, Aku hamil."
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
"Dit! Dit! Adiiit..!! mau pesen apa Dit?" teriak Bila yang
dari tadi berusaha menyadarkan Adit. Ia tak mengerti entah mengapa Adit melihat
lurus ke depan dengan tatapannya yang kosong.
"Eh?~" Adit masih setengah sadar.
"Mau pesen apa?!" tanya Bila.
"Hah? Kenapa Bil?"
"Aku dari tadi nanya mau pesen apa?!" tanya Bila dengan nada
sedikit tinggi.
"Oh, iya... Samain aja sama kamu" akhirnya Adit tersadar.
Ternyata peristiwa tadi hanyalah ilusi yang timbul dari pikirannya saja. Jika
hal itu terjadi Ia tak tahu lagi harus berbuat apa.
"Untung cuma ilusi" ucapnya sambil menghela nafas lega.
"kenapa Dit?" Bila terlihat bingung setelah melihat apa yang
terjadi pada Adit.
"Gak, gak apa-apa"
"Yaudah kalo gitu aku pesen soto nya dulu ya, kamu tunggu di sini."
Tak lama setelah pergi memesan soto, Bila pun kembali.
"Kamu kenapa sih tadi? bengong gitu," tanya Bila yang masih
terlihat kebingungan.
"Enggak, itu… kebanyakan mikirin tugas kuliah kayaknya" jelas
Adit. Tentu saja Ia tidak akan bilang mengenai ilusi yang baru saja dialaminya
itu. Bahkan mengingatnya saja membuatnya takut.
"Halah… bohong. Pasti kamu bengong karena ngeliatin cewek di depan
kan? ngaku…!"
"Enggak, dih. Enggak salah lagi, hehehe…"
"kan… kan… kaaan…!! dasar kamu ini."
"Oh, iya. ngomong-ngomong, tumben kamu gak bareng Fajar? kemana
dia?" tanya Adit.
"Iya, tadi katanya Dia ada urusan. Jadi pulang duluan."
Adit senang dapat berbicara seakrab ini lagi dengan teman masa
kecilnya. Ditambah tidak ada Fajar. Namun, tetap saja masih ada sedikit
kecemasan dalam dirinya. Ia penasaran, hal penting apa yang ingin Bila
bicarakan.
"Terus katanya kamu mau ngomong sesuatu" tanya Adit, rasa
penasaran membuatnya tidak sabar ingin langsung menanyakan hal tersebut.
"Oh, iya. Jadi gini…" belum selesai Bila berbicara, tiba-tiba
jantung Adit berdetak cepat, nafasnya tidak beraturan. Ia mengubah posisi
duduknya menjadi condong ke arah depan dengan muka yang sangat serius.
"Ibu Aku sebentar lagi ulang tahun, Aku gak tahu hadiah yang bagus
apa."
Setelah mendengar hal tersebut, Ia pun mengembalikan posisi duduknya
seperti semula dan menghela nafas, merasa lega. Apa yang Ia pikirkan sebelumnya
tidak terjadi.
Tapi mungkin ini memang pembicaraan yang sangat penting bagi Bila.
Mengingat orangtuanya yang sudah diambang perceraian, jadi Ia ingin memberikan
hadiah yang terbaik agar Ibunya tidak terlalu sedih.
"Oh, gitu. Gimana yah… Aku aja gak pernah ngasih kado ulang tahun
ke Ibu Aku."
"Masa?!" Bila terkejut.
"Iya, Sorry yah. Tapi kalo menurutku sih apapun yang kamu kasih,
pasti itu bakal jadi kado terbaik bagi Ibu kamu. Semua orangtua pasti ngrrasa
gitu"
"Hmm… yaudah deh, nanti Aku pikirin sendiri. thanks
ya"
"Eh, itu pesenannya udah dateng." Terlihat Ibu kantin yang
berjalan mendekat sembari membawa dua porsi soto pesanan Bila.
"Maaf yah dek agak lama, tadi pisau buat motong dagingnya ilang.
Udah Ibu cari tapi gak ada. Karena rumah Ibu deket, Jadi Ibu tadi pulang dulu
ambil pisau yang baru." Jelas Ibu kantin.
"Kok bisa ilang Bu?" tanya Bila.
"Ibu juga kurang tahu. Mungkin lupa naruhnya dimana, maklum udah
tua."
"Yaudah gak apa-apa Bu, yang penting sotonya udah jadi. Terima
kasih ya Bu"
"Iya dek"
Adit dan Bila pun segera menyantap soto tersebut. Tampak Adit begitu
senang, dulu Ia sangat menantikan moment ini, dan kali ini keinginannya itu
dapat terkabul.
Setelah selesai makan, Bila terlihat menatap Adit dan berkata ingin
segera pergi. Adit sebenarnya ingin lebih lama lagi mengobrol dengan Bila.
Namun apa boleh buat, Ia hanya dapat berharap kesempatan seperti ini dapat
kembali menghampiri dirinya.
"Yaudah Dit, kayaknya Aku mau langsung pulang aja. Sotonya udah
dibayar kok. Makasih yah, udah nemenin makan siang"
"Wah, jadi gak enak nih. Justru Aku yang harus bilang makasih,
udah ditraktir. Sorry banget gak bisa bantu banyak soal kado ulang tahun Ibu
kamu."
"Iya, gapapa Dit. Kalo gitu Aku pergi dulu yah"
Entah ilusi atau bukan, tapi Adit melihat Bila meneteskan air mata ketika
Ia berdiri dari tempat duduknya. Tetapi Adit tidak terlalu mengindahkan hal
tersebut. Ia tak mau tertipu lagi oleh ilusi seperti sebelumnya.
Tak lama setelah Bila pergi, Adit pun bersiap pulang karena hari sudah
sore. Namun, Sesaat setelah berdiri dan hendak meninggalkan kantin. Dari
kejauhan Ia melihat dua orang keluar dari gedung fakultas bahasa dan seni.
Rupanya Adit tidak asing dengan kedua orang itu. mereka seperti sedang
terburu-buru.
"Itu kan Fajar sama Sita. Kata Bila, Fajar pulang duluan. Tapi kok
masih dikampus. Terus ngapain Dia bareng sama Sita."
Rasa penasaran memang sempat muncul dalam pikiran Adit, namun rupanya
Ia memilih untuk acuh atas apa yang Ia lihat barusan. Mungkin saja Fajar balik
lagi ke kampus karena lupa sesuatu dan melihat Fajar berjalan bersama Sita
bukanlah hal aneh mengingat mereka berada dikelas yang sama. Lagipula sekarang
Adit harus segera mengembalikan charger milik Asep.
Sore itu suasana kampus begitu sepi, langit yang cerah membuat warna jingga
menyelimuti seluruh kota. Matahari yang hendak terbenam tak pernah seindah ini
terjadi di perkotaan. Entah hal apa yang akan terjadi dikota ini, yang jelas Ia
merasakan firasat buruk akan hal ini. Dengan tenang Adit melangkahkan kakinya,
beranjak dari kantin. Ia harus mencari Asep.
Adit sudah mencari ke beberapa tempat. Namun Ia tidak menemukan
keberadaan Asep. Adit baru teringat, mungkin saja Ia masih membersihkan gudang
lantai 4.
Hari sudah semakin gelap, Ia harus segera mengembalikan charger milik
Asep dan segera pulang. Jika tidak Ibu pasti akan marah lagi dan mencubit
pinggangnya. Adit yang tak mau hal itu terjadi segera bergegas menuju lantai 4
gedung fakultas bahasa dan seni.
Lift yang dinaikinya perlahan bergerak menuju lantai 4. Firasat yang Ia
rasakan tadi kian menguat. Lift berbunyi, pintunya terbuka, pertanda Adit sudah
tiba di lantai tujuannya.
Suasana begitu sunyi, tak terlihat seorang pun di sana. Hingga
tiba-tiba terdengar suara, seperti seseorang yang sedang berdebat, bertengkar
hebat. Suara itu kian terdengar jelas ketika langkah Adit semakin mendekat ke
arah datangnya suara. mungkin masih ada seseorang di dalam kelas, pikirnya.
Namun rupanya Ia salah, suara itu datang dari gudang lantai 4. Tempat yang
sedang Ia tuju sedari tadi. Tak terdengar jelas apa yang mereka selisihkan di
dalam gudang, namun yang pasti suara dari masing-masing mereka terdengar
semakin lantang.
"TOLONG…! TOLOOONGG..!!" Tiba-tiba terdengar suara teriakan
wanita.
Tak lama setelah terdengar teriakan minta tolong, terlihat darah
mengalir keluar dari celah bawah pintu gudang. Sontak hal ini membuat Adit
terkejut bukan main. Belum sampai disitu. Terderang suara pecahan kaca yang
sangat keras. Yang membuat Adit sangat terkejut adalah kenyataan bahwa suara
wanita itu sangat tidak asing baginya. Pupil matanya mengecil, nafasnya menjadi
berat, namun meski begitu Adit tetap melanjutkan langkahnya menuju gudang
lantai 4. Hingga ketika tiba di depan pintu, tangannya gemetar, bagian bawah
sepatunya menjadi warna merah karena Ia berdiri tepat diatas cairan darah yang
mengalir dari bawah pintu. Adit pun memejamkan matanya, berusaha mengontrol
kembali ritme pernafasannya yang tadi sempat tak karuan. ketika sudah lebih
tenang, Ia mengumpulkan keberanian dan segera membuka pintu tersebut.
Pintu terbuka, apa yang kini tengah Ia lihat dengan kedua matanya
seakan membuatnya tak mampu lagi membedakan mana ilusi mana kenyataan. Seorang
wanita yang sudah Ia kenal sejak lama, wanita yang Ia kagumi, Ia cintai. Kini
terbujur kaku bersimbah darah dihadapannya. Di dada kirinya menancap sebuah
pisau yang sering Ia lihat ketika memesan semangkuk soto. Rupanya itu pisau
milik Ibu kantin yang hilang. Terlihat juga kaca jendela gudang yang pecah.
Tatapan Adit seketika menjadi kosong dengan pupil mata yang kembali mengecil
seakan Ia tak percaya dengan apa yang Ia lihat di depan matanya. Tak sepatah
katapun mampu Ia ucapkan Tidak peduli seberapa keras Ia ingin menjerit. Cahaya
Langit senja yang menyelimuti kota sore itu menerobos masuk melalui jendela
dengan kacanya yang sudah pecah.
。。。。。。。。。。。。。。。。。。。
Adit berhasil membawa Bila ke rumah sakit, Namun nyawa Bila tak dapat
tertolong. Begitu pun dengan bayi 4 minggu yang dikandungnya… Ya, Bila sedang
hamil.
Adit tersadar, ternyata hal penting yang Bila ingin bicarakan tadi
siang bukanlah tentang kado ulang tahun Ibunya, melainkan tentang hal ini.
Namun Bila tak sanggup mengatakannya dan akhirnya berubah pikiran. Itulah
kenapa saat hendak pergi dari kantin Ia terlihat meneteskan air mata. Ia sedih
karena tak bisa jujur kepada teman yang sudah menemaninya sedari kecil.
Kenyataan ini semakin membuat Adit terguncang. Ia hanya bisa tertunduk lesu
dengan tatapannya yang kosong. Pikirannya seperti pergi jauh dari raganya. Ia
tak terima dengan apa yang telah terjadi. Mengapa teman masa kecilnya harus
pergi dengan cara seperti ini. Air mata yang sedari tadi Ia tahan, kini tak
terbendung lagi. Ia tersungkur di lantai rumah sakit, menjerit, menangis,
meluapkan semua emosi yang sudah tak terbendung. Hingga tiba-tiba Ia tak sadarkan
diri.
"Dit! Dit! Adiiit..!! mau pesen apa Dit?"
. . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . .
"ADIIITT..!!"
. . . . . . . . . . . . . . .
telinganya berdengung, pandangannya masih kabur. terdengar suara yang
memanggil-manggil namanya.
Seketika Adit pun tersadar, Ia tengah duduk di kantin dan di hadapannya
terlihat sosok Bila yang sedari tadi berusaha berteriak menyadarkannya.
"Bila..." Ucap Adit yang masih setengah sadar. Ia tak
mengerti dengan apa yang Ia alami barusan. Ia yakin sekali jika Bila sudah
terbunuh. Adit sudah tidak mengerti lagi dengan apa yang sebenarnya terjadi. Ia
merasa jika waktu seperti berputar balik. Mungkin saja ini kesempatan yang
diberikan untuknya agar bisa mencegah terbunuhnya Bila.
"Akhirnya sadar juga, Mau pesen apa?!" tanya Bila.
"Samain aja sama kamu."
"Oke deh, yaudah kalo gitu aku pesen soto nya dulu ya, kamu tunggu
di sini"
Tiba-tiba saja Adit teringat dengan pisau ibu kantin yang menancap
ditubuh Bila.
"Eh, Bil. Aku aja yang mesen. Kamu tunggu disini." Ucap Adit.
"Gak apa-apa aku aja yang pesen."
Adit harus segera mengambil tindakan. Ia tak ingin kejadian yang sama
terulang. Dengan segera Ia berdiri dan menggenggam tangan Bila cukup erat
dengan tatapan yang serius.
"Udah aku aja yang pesen, kamu tunggu di sini."
Adit pun pergi memesan dua porsi soto, tak lupa Ia mengambil pisau Ibu
kantin penyebab terbunuhnya Bila, memasukkannya ke dalam tas dan segera kembali ke meja kantin. Kali ini Ia
pasti bisa menyelamatkan Bila.
Setelah selesai makan, Adit mengajak Bila masuk ke gedung fakultas
bahasa dan seni. Ia ingin menunjukkan kepada Bila jika Fajar berbohong dan kini
tengah berduaan bersama Sita. Adit pun mencari keberadaan Fajar, hingga sampai
lah mereka di lantai 4. Terlihat Fajar tengah berbicara dengan Sita di dekat
toilet. Mereka berdua bersembunyi dan mencoba mencari tahu apa sedang Fajar dan
Sita bicarakan.
"Pokoknya aku gak mau tahu, kamu harus gugurin kandungannya Bila.
Katanya kamu cuma main-main doang sama Bila, gak mau serius. Tapi tahunya kamu
sampe bikin dia hamil. Kamu tahukan kalo Aku tuh sayang sama Kamu Jar." Ucap
Sita.
Adit dan Bila yang mendengar hal tersebut terkejut. Mereka seakan tak
percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Terlebih lagi bagi Bila yang
tengah mengandung anaknya Fajar. Bila sampai rela membuang masa depannya demi
pria yang Ia cintai tersebut.
Tak lama kemudian Fajar pun sadar jika ada seseorang yang tengah
menguping pembicaraan mereka. Tidak ingin ketahuan, Adit pun menarik Bila dan
berlari. terlihat pintu gudang lantai 4 yang tengah terbuka. tidak pikir
panjang mereka segara masuk dan bersembunyi di sana.
Fajar dan Sita mengejar, mereka berdua berhenti di depan gudang lantai
4. Rupanya Fajar mempunyai firasat jika orang yang menguping tadi bersembunyi
di sana. Fajar pun mendekat selangkah demi selangkah ke arah pintu. Namun tak
lama kemudian terdengar suara Lift. Seketika Fajar dan Sita pun memilih pergi,
turun melewati tangga. Karena akan bahaya jika seseorang mendapati mereka
tengah berduaan di lantai gedung yang sepi.
Adit yang mengetahui Fajar dan Sita telah pergi, merasa lega. Namun
tidak dengan Bila, Ia masih terlihat terguncang atas apa yang Ia dengar.
"Bil… Bila!! Kamu gak apa-apa kan? Bil?!"
Bila hanya terdiam. mengetahui Pria yang Ia cintai dan sahabat yang Ia
percaya tega melakukan hal seperti ini.
"Dari dulu Aku emang gak suka sama Fajar. Tapi Kamu lebih memilih
Fajar, orang yang baru aja kamu kenal dibanding Aku yang udah lama kenal sama
kamu. Padahal Aku sayang banget sama kamu Bil. Aku rela ngelakuin apa aja deni
Kamu. Tapi kamu lebih milih Dia. Apa karena dia anak orang kaya?!"
"TAHU APA KAMU SOAL FAJAR?!" Tiba-tiba Bila berteriak, dengan
ekspresi yang sangat marah.
"Kamu tahu kan Dit? seberapa sedih aku disaat kedua orangtua Aku
mau cerai. Aku butuh orang untuk terus ada di samping Aku. Dan orang itu adalah
Fajar, Dia selalu ada disamping Aku, menghibur aku ketika aku lagi sedih. Tapi
kemana orang yang udah kenal lama sama Aku? Dia gak ada disaat aku lagi butuh
"
"JADI KAMU MASIH BELAIN DIA?! orang yang udah jelas-jelas nyakitin
kamu. IYA?!"
"CUKUP!! Aku gak mau denger apa-apa lagi dari kamu. Lebih baik aku
gak pernah kenal sama orang kayak Kamu"
Apa yang terlontar dari mulut Bila tadi membuat amarah Adit semakin
menjadi-jadi. Bila tak pernah tahu jika Ia sudah berusaha keras untuk dapat
kembali dekat dengannya. Namun tak peduli seberapa keras Ia berusaha, perasaan
dan keinginannya takan pernah bisa tersampaikan.
Kini Adit tidak dapat mengontrol emosinya lagi, setelah apa yang Ia
lewati hingga hari ini. Ia tak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi,
hatinya sudah digelapkan oleh amarah, kebencian, dan sakit hati.
Ia mengambil pisau dari dalam tasnya dan menghujamkannya ke arah dada
kiri Bila. Bila pun terjatuh dan berteriak meminta tolong. Kedua tangan Adit
penuh dengan darah. Ia pun berjalan mendekati jendela dengan tatapannya yang
kosong. Ia sudah tidak peduli lagi dengan ilusi dan kenyataan. Ia mengambil
kursi rusak yang berada di dekatnya dan melemparkan ke arah jendela.
Kemudian Adit pun berlari ke arah jendela dan melompat keluar. Ia
terjun bebas dari lantai 4. Adit menatap ke atas, ke arah langit. Sungguh
langit senja yang menyelimuti kota sore itu begitu indah. Ia memejamkan
matanya, berharap kisahnya seindah langit yang Ia lihat. Seketika pandangannya
menjadi putih, Lalu terdengar suara wanita.
. . . . . . . . . . . . . . . .
"Dit! Diiit!! Adiiiiitt!! Kamu mau pesen apa Dit?"
. . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . .
~langit
senja yang menyelimuti kota sore itu~
-Adam Hamdani