Aku terduduk di kasur ku pagi ini seperti biasanya, sendiri dan sepi. Aku bangkit dari tempat tidur ku dan membuka tirai kamar, langit masih gelap, ayam-pun masih mengumpulkan nyawa untuk berkokok. Matahari saja belum menampakkan wujud nya, pernah aku tawar menawar dengannya, bagaimana jika aku saja yang menggantikan tugasnya setiap pagi? Toh aku terjaga lebih cepat darinya, tapi rupanya aku tidak cukup terang katanya, walaupun terjaga paling pagi, tak akan mampu aku menyinari seisi dunia ini. Dasar, angkuh sekali dia, sampai berani dengan seenaknya menamai ku, Rembulan Pagi.
Pernah dia bertanya, mengapa aku selalu terbangun pagi sekali, padahal tidak ada hal penting yang harus aku kerjakan di waktu-waktu pagi, pun tidak ada yang aku sapa di pagi hari, bahkan Tuhan saja tidak aku sapa. Lalu ku katakan saja padanya, “bukankah kau harus tertidur dahulu sebelum terbangun?” Lalu dia terdiam, hari itu sang Matahari yang angkuh mungkin menghabiskan waktunya untuk merenungkan jawabanku di bawah selimut awan, karena langit menjadi mendung seharian. Mendung saja tanpa hujan.
Aku meninggalkan kamar ku dan menuruni tangga, seperti hari-hari biasanya, rumah ini terasa terlalu luas untukku. Rumah megah yang hanya dihuni aku serta dua pekerja yang terpaksa bangun lebih awal hanya agar aku tidak merasa sendirian setiap aku keluar kamar di pagi buta. Walau sebenarnya, kami juga hampir tidak pernah bertukar cerita, bulan-bulan awal mereka datang ke rumah ini mereka memang dengan aktif mengajak ku berdialog, tapi mungkin mereka mulai memahami dan terbiasa dengan diamnya diriku, atau mungkin lelah dengan dialog satu arah yang sangat monoton. Tetapi aku cukup berterimakasih kepada mereka, setidaknya mereka tidak mengatakan apa yang tidak ingin aku dengar, tidak melakukan yang tidak ingin aku lihat dan tidak menanyakan apa yang tidak ingin aku jawab.
Hari ini, seharusnya menjadi hari biasa saja seperti hari-hari sebelumnya. Hingga surat tanpa nama itu tiba di depan rumah ku.
Satu-satunya aktifitas yang selalu aku lakukan di pagi hari adalah menyirami bunga di taman yang mengelilingi rumah di tanah yang luas ini, bukan karena aku suka, hanya saja pernah suatu pagi aku melihat bunga yang layu, dan aku baru menyadari wujudnya yang layu sangat tidak nyaman dipandang kedua mataku, sejak saat itu aku bertekad untuk terus menyirami bunga dan tanaman di halaman rumah agar terus hidup, demi kenyamanan pandanganku sendiri, dan kemudian ini menjadi kebiasaan ku bahkan setelah tukang kebun datang untuk mengurus halaman dan taman rumah ini.
Aku sedang menyirami si kuning Marigold, sejujurnya aku tidak terlalu menyukainya, karna dia terlihat terlalu percaya diri, nyaris sombong dengan warna kuningnya yang terang itu, sama seperti si angkuh Matahari, agak menyebalkan, namun aku tetap menyiraminya dan membiarkan dia tumbuh, bagaimana-pun ini lebih baik dari mendapati bunga layu di halaman ku.
Dari kejauhan tukang kebun paruh baya yang bekerja di rumah besar ini tergopoh-gopoh berlari menghampiriku.
“Non, anu… tadi saya lihat ini di kotak surat.”, ia menyerahkan sebuah amplop polos berwarna putih gading ke arah ku, warnanya sama seperti warna gaun tidur klasik yang saat ini aku kenakan, “Tapi tidak ada nama atau alamat pengirimnya. Kalau saya tidak sedang bersihkan tembok luar pagar, mungkin saya tidak akan lihat ada surat.”, sambung tukang kebun, aku mengambil surat dari tangannya dan membolak-balik amplop itu, ada wangi seperti cokelat dari amplop tersebut, tidak ada tulisan selain tanggal dan bulan, “30/07” yang ditulis dengan tinta hitam.
Aku mengangguk pelan, “Baiklah, terima kasih... tolong lanjutkan ya pak.”, kuserahkan selang tanaman kepada tukang kebun dan kembali kedalam rumah.
Aku duduk di ruang tengah, memandangi dan menimang amplop itu diatas telapak tangan ku. Aneh, seberapa-pun keras aku berpikir sepertinya tidak ada seorang yang akan mengirimkan surat kepada ku, aku juga tidak menunggu balasan surat dari siapa-pun. Dan lagi, wangi cokelat ini, sepertinya tidak asing bagi ku, namun aku tidak bisa mengingat di mana dan kapan aku pernah melihatnya.
Aku membuka amplop itu, di dalamnya terdapat secarik kertas yang berwarna senada dengan amplop yang membungkusnya, dan juga beraroma cokelat, sangat, sangat familiar.
Perlahan aku membaca surat pendek yang ditulis dengan tinta hitam itu.
“Teruntuk, Athalia……”
Tunggu, surat ini memang di tujukan kepadaku. Aku memutuskan untuk melanjutkan membaca.
“Kala kaki-kaki panjang menghentak di muka-muka tanah
Makhluk-makhluk bumi serentak mendambakan pelukan malaikat-malaikat hati
Yang terkasih selalu akan tiba menjinakkan amarah
Athalia, namanya sungguh tertulis di atas langit untuk cinta kasih abadi
30/07”
Sebuah surat beraroma cokelat yang hanya bertuliskan sebuah sajak singkat, mengusik pikiran ku sepanjang hari. Kubaca sajak itu berulang kali, seperti sebuah mantera, malam itu aku tertidur pulas. Dan ketika ku buka kedua mataku, sang Matahari yang angkuh itu menyapa ku, ia seolah berkata padaku dengan nada penuh kemenangan.
“Athalia, maka kini kau terbangun…”, masih sama menyebalkannya, namun aku tidak keberatan.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ku nikmati hangat sinar matahari pagi yang menyentuh kulit pucat ku.
Dengan rasa yang berbeda, seperti setengah melayang, dengan cepat dan bersemangat aku menuruni tangga. Dua pekerja yang selalu menyambut pagi buta ku, menatap ku dengan wajah khawatir. Aku sang Rembulan Pagi, menyapanya saat langit telah diterangi sinar matahari.
“Hmm…. Selamat.. pagi…”, ucap ku pada mereka.
Seolah tidak pecaya dengan apa yang mereka dengar, berkali-kali mereka bertukar pandang satu sama lain, untuk memastikan bahwa yang berdiri dihadapan mereka bukanlah ilusi, atau bahwa mereka tidak sedang bermimpi.
***
Setiap malam, kini benar ku baca sepotong sajak dari surat beraroma cokelat itu, berkali-kali. Seolah setiap kali ku mulai, itu adalah sajak yang belum pernah aku baca sebelumnya. Entah apa makna dibalik kata demi kata itu. Tak pernah benar-benar ku pusingkan. Yang aku tahu, ada kedamaian yang aku rasakan setiap kali aku selesai membacanya. Wangi cokelat yang sangat familiar, kini juga menempel erat pada selimut ku, mungkinkah wangi ini yang menenangkan ku? Atau benar sepotong sajak itu adalah mantera tidur yang ditulis oleh seorang penyihir? Entah. Kubiarkan imajinasiku mengikutiku hingga aku terlelap.
Pagi berikutnya, aku semakin menikmati detik-detik sinar matahari menyelinap dari celah tirai jendela dan menyentuh kulit wajahku, hangat. Aku kembali terbangun dari tidur tanpa mimpi.
Kali ini aku mendengar ketukan dari pintu kamar ku.
“Non, sudah bangun?”, suara berat dari tukang kebun terdengar dari balik pintu. Aku bangkit dari tempat tidur ku dan membukakan pintu.
“Ya pak?”, tanyaku sambil mengusap kedua mata. Disaat yang bersamaan aku mencium wangi cokelat. Seketika mataku membulat.
“Ini Non, ada lagi di kotak pos..”, tukang kebun menyodorkan amplop putih gading kepadaku, amplop yang sama, wangi yang sama, masih tidak ada nama dan alamat pengirim, lagi-lagi hanya tanggal yang tertera.
Dengan cepat aku ambil amplop itu dari tangan tukang kebun. Dan tersenyum.
“Terima kasih pak…”
Hati-hati aku membuka amplop itu dan mengeluarkan secarik kertas yang ada di dalamnya. Lagi, sepotong sajak. Ku baca sajak pendek itu perlahan, seakan-akan tidak ingin ku akhiri.
“Teruntuk, Athalia……
Nama yang di ucap malaikat langit bagai doa
Athalia, betapa malam mencitainya
Hingga inginkan ia tetap terjaga
Dengan begitu, gelapnya akan terus ia bawa
Pada malam dimana ia pejamkan mata
Saat itulah dunia berdendang bahagia
07/08”
Sejak saat itu, surat-surat dengan amplop berwarna dan wangi yang sama terus berdatangan, berkat potongan-potongan sajak yang ia tuliskan perlahan aku pun berdamai dengan malam, dan mulai mencintai pagi.
Hingga suatu hari aku tidak dapat berhenti memikirkan dia sang penulis sajak. Ku putuskan untuk menulis balasan untuk surat-suratnya.
Aku pergi ke ruang belajar milik mendiang ayah, ruangan yang dulu menjadi tempat favorit ku untuk menghabiskan waktu membaca buku bersamanya, namun kini tak pernah lagi aku masuki sejak saat kecelakaan 10 tahun silam. Hanya pengurus rumah yang rutin memasuki ruangan ini untuk membersihkannya dari debu dan sarang laba-laba. Aku memegang kenop pintu dan membuka nya perlahan, beberapa saat aku hanya terdiam di depan pintu, tak bergeming, berusaha menyesuaikan diri, ada rasa sesak luar biasa yang menjalar kerongga dada, namun segera ku lawan rasa itu dan dengan langkah ragu-ragu aku berjalan mendekati meja kerja ayah, disana aku temukan secarik kertas dan pena. Nampaknya memang aku masih butuh banyak waktu untuk kembali membiasakan diri dengan ruangan itu, kuputuskan untuk keluar dari sana, kembali ke kamar ku.
Disana aku mulai menulis beberapa bait sajak.
“Teruntuk, .……”
Tangan ku berhenti sejenak, dan merenung... benar bagaimana aku tuliskan teruntuk siapa, jika aku saja tidak tahu namanya.
Namun ku lanjutkan saja gerakkan tangan ku, membiarkannya beriringan bersama hati ku.
“Teruntuk, Sebuah Nama……
Suara yang tak pernah kudengar namun kurindukan bahkan di dalam tidurku
Ku serukan sebuah nama, nama yang tak pernah terucap dari bibirku
Tak ada jawaban, hanya gema menyedihkan yang kembali padaku
Aku melihat diriku memanggil pilu namamu, sebuah nama yang tidak pernah aku tahu
30/08”
Aku pergi keluar, menuju kotak pos yang berdiri di depan gerbang rumah. Wujud nya yang lusuh cukup menceritakan betapa tidak seorang pun pernah menitipkan pesan kepadanya. Namun, mungkin belakangan ini dia tidak terlalu kesepian, semenjak terus datangnya surat - surat beraroma coklat itu.
Sedikit ku seka bagian atas kotak surat dengan ujung baju hangat ku, sebelum ku masukkan surat yang telah ku tulis. Jika dia datang sendiri untuk menaruh surat-surat itu, maka aku yakin surat ini akan sampai kepadanya.
“Jaga suratku hingga dia menjemputnya, seperti selama ini kamu dengan baik menjaga surat-suratnya hingga sampai kepadaku.”, bisikku pada kotak surat lusuh itu.
Setiap pagi aku turun dan berdiri di depan gerbang. Menunggu seseorang mendekati kotak surat itu. Tukang kebun sesekali menemani ku, namun aku minta ia untuk melanjutkan saja pekerjaannya agar bisa segera beristirahat.
Hari ke tiga, surat balasan ku masih tersimpan didalam kotak surat, tak tersentuh. Hingga pagi hari berikutnya, dari balik jendela kamar aku melihat seseorang, seorang laki-laki jangkung berambut cokelat gelap berdiri didepan gerbang, ditangannya terdapat dua buah amplop, satu milikku, dan satu lagi amplop putih gading yang sangat tidak asing. Aku bergegas turun untuk menghampirinya secepat mungkin. Namun, rumah ini terlalu besar, hal yang berkali-kali aku sesali, kaki-kaki ku yang tidak cukup panjang, tidak mampu mengimbangi luasnya rumah ini. Saat aku tiba di depan gerbang, laki-laki itu sudah tidak ada.
Dia seperti tahu dan hafal, waktu-waktu dimana tidak akan ada orang disekitar halaman depan, tukang kebun akan sibuk bekerja di halaman belakang, dan pada waktu itu-pun aku sudah kembali ke dalam rumah setelah selesai menyirami bunga-bunga. Hingga tidak akan ada yang menyadari kedatangannya untuk menaruh surat-suratnya.
Dengan kesal aku menendang kerikil tidak bersalah, yang mengagetkan kupu-kupu yang juga tak bersalah yang sedang beristirahat di atas kelopak si ungu Bugenvil.
Aku membuka gerbang dan memeriksa isi kotak surat. Aku termenung, kuperiksa beberapa kali untuk memastikan. Tidak ada. Tidak ada surat didalamnya. Aku yakin, dia memegang dua buah surat, satu milikku dan satu miliknya. Mengapa? Mengapa ia tidak meninggalkan surat miliknya?
Aku menatap si ungu Bugenvil, seolah memaksanya untuk memberiku sebuah alasan.
Malam itu, aku kembali terjaga. Membaca ulang sajak-sajak yang ia tulis kini tidak membantu ku untuk tertidur. Seolah mantera yang tersemat di dalam sajak-sajak itu menghilang, seperti sebuah dongeng, dimana kekuatan mantera akan menghilang jika ada syarat yang dilanggar, tapi, syarat apa? Apakah karena aku telah melihat sosoknya sekilas?
Hentikan! Jangan bodoh, aku tidak sedang hidup dalam dunia dongeng!
Aku buka jendela kamar ku dan membiarkan angin malam menerobos masuk kedalam kamar. Aku menengadah ke langit malam dan ku dapati bulan sabit sedang menatapku dengan tatapan kasihan. “Apa akan kau biarkan Matahari nanti kembali menyebut mu Rembulan Pagi? Aku pikir kau sudah muak menyanding nama ku.”, dengan keras aku menghela napas lalu menatap sinis ke arahnya, “Kalau kau begitu peduli, maka beri tahu aku mengapa dia pergi begitu saja?!”, seperti enggan menanggapi kekesalan ku, ia bersembunyi dibalik awan.
Kubiarkan jendela kamarku terbuka hingga subuh datang, aku kembali mengungguli Matahari, bukan seseuatu yang ingin ku banggakan. Aku bangkit dari tempat tidur ku dan melangkah menuruni tangga. Tidak ada siapa-siapa. Dua pekerja rumah ini nampaknya mulai terbiasa untuk beraktifitas saat langit mulai terang, aku tidak menyalahkan mereka. Aku duduk di sofa panjang ruang tengah yang terasa dua kali lebih luas pagi itu, sepi yang memekakkan telinga. Aku rapatkan lututku kedada dan menutup kedua telinga dan mataku.
Caraku mengatasi kesunyian.
Entah berapa lama aku berdiam dalam posisi demikian, hingga sayup-sayup aku mendengar suara langkah kaki mendekat.
“Non…?”, suara pengurus rumah menyadarkan aku. Aku mengangkat kepala ku. Kedua mata pengurus rumah menyiratkan kebingungan dan kekhawatiran, “Non Thalia sedang apa disini?”, tanyanya, namun tak aku jawab. Aku hanya terdiam, pandangan ku terpaku pada semburat oranye yang menyelinap masuk dari sela-sela pintu yang kemudian terpantul di lantai mengkilat ruang tengah.
“Non? Non baik-baik saja?”, tanya pengurus rumah yang kesekian kalinya. Aku mengalihkan pandanganku kepadanya, dan menggeleng lemah.
“Saya akan seduhkan teh chamomile, Non kembalilah ke kamar.”, aku mengangguk dan kembali ke kamar, namun aku ingat aku tidak menutup jendela semalam, dan aku malas untuk berhadapan dengan matahari melalui jendela kamar ku. Dia pasti akan mencemooh ku dengan angkuhnya.
“Bi, bisa tolong ke kamar saya duluan? Saya lupa tutup jendelanya semalam.”, pengurus rumah dengan segera pergi ke kamar ku dan menutup jendela, aku mengikutinya dari belakang.
Tidak ada surat yang datang setelah hari itu. Aku kembali tidak bersahabat dengan malam, dan menyesali datangnya pagi. Sajak-sajak yang memberiku ketenangan, dan harapan, kini membacanya ulang hanya menorehkan luka baru pada diriku.
Setelah berminggu-minggu lamanya, tukang kebun kembali tergopoh-gopoh menghampiriku yang sedang menyirami bunga di taman belakang dengan sepucuk surat ditangannya.
“Non…”, tanpa berkata apapun ia menyodorkan surat itu kepadaku, dengan warna amplop yang sama dan wangi cokelat yang sangat familiar. Dengan ragu aku menerimanya. Namun kali ini, tertulis sebuah nama di amplop itu, nama yang sepertinya sangat aku kenal. Nama yang tersimpan disuatu tempat dalam ingatan ku, namun menolak untuk aku bawa keluar.
Tukang kebun mengatakan sesuatu namun aku tidak dapat mendengarnya karena seketika kepala ku terasa ingin meledak, seperti potongan-potongan film pendek bergantian terlintas dikepalaku, sebuah suara yang sangat aku kenal, sepasang mata yang aku kenal, sebuah senyum, sebuah nama yang terucap dari bibirku.
Aku terhuyung, kehilangan keseimbangan ku, namun tukang kebun dengan sigap memegang lengan ku, “Non?! Non tidak apa-apa?”, aku mengangguk cepat, kepalaku masih sangat sakit, aku masih tidak mengerti akan potongan-potongan ingatan yang baru saja terlintas di kepalaku.
“Anu non… Surat nya ada yang antar Non. Yang antar sepertinya masih ada di depan gerbang.”, mendengar hal itu, aku segera berlari ke arah gerbang rumah, entah kekuatan dari mana, aku berlari dengan sangat cepat, aku melangkah selebar mungkin, seolah kaki-kaki ku memanjang beberapa senti, tidak aku pedulikan denyut dikepala ku. Kali ini tidak akan kubiarkan dia pergi begitu saja.
Siapa dia? Apakah kami saling kenal? Siapa??
Ketika jarakku semakin dekat dengan pintu gerbang, aku dapat menangkap sosok jangkung berambut cokelat gelap berdiri mematung dari kejauhan, matanya tak lepas memperhatikan aku yang berlari menghampirinya.
Semakin lama semakin jelas raut wajahnya. Wajah tirus, dibalik kacamata yang bertopang pada tulang hidung yang tinggi, aku bisa menangkap tatapan dari dua mata yang lembut namun juga seolah menyimpan kesedihan yang luar biasa .
Aku menghentikan langkah ku, kini jarak kami cukup dekat dengan hanya dipisahkan pintu gerbang, wajahnya sangat familiar. Ada bekas luka dipipi kirinya, dan luka itu seolah memaksa masuk kedalam kepala ku untuk membawa segala ingatan yang aku miliki tentangnya. Aku merasakan getaran aneh menjalar di sekujur tubuh ku, ku bisikkan nama kepada laki-laki dihadapan ku, yang aku yakini adalah sang pemilik nama. Bisikan pelan, namun cukup untuk sampai di telinganya, mendengarku menyebut namanya, ia tertunduk. Matanya berkaca-kaca, ia mengangguk pelan. Beberapa detik setelahnya, aku merasa bumi mengerahkan seluruh gravitasinya untuk menarikku jauh kedasar jurang yang tak berbatas. Cepat dan kencang.
***
-10 tahun yang lalu-
“Thaliaaa…. sudah siap nak?”, teriak seorang wanita berusia 35 tahun sibuk memasukkan beberapa kotak-kotak berisi makan kedalam keranjang piknik.
“Iya bundaaa sebentar lagiii…”, sahut seorang gadis belia 15 tahun yang masih memilih kaus kaki yang akan dia kenakan.
“Ayah, coba tolong cek Thalia sedang apa… minta dia untuk segera turun.”, wanita itu masih sibuk menata beberapa barang keperluan piknik keluarga.
Laki-laki bertubuh tegap yang terlihat hanya beberapa tahun lebih tua darinya, melakukan apa yang di minta tanpa berkata apapun.
“Ayyara Athalia… sedang apa nak? Dari tadi Bundamu sudah memanggil-manggil…”
“Yah, lebih bagus mana? Biru muda atau merah muda?”, Athalia menunjukkan dua kaus kaki biru muda dan merah muda kepada ayahnya.
“Hmm…. merah muda…?”, jawab ayahnya.
“Baiklah~!”, Athalia mengembalikan kaus kaki berwarna merah muda ke laci pakaiannya, dan segera mengenakan kaus kaki biru muda. Lalu dengan jenaka tersenyum meledek kepada sang ayah. Laki-laki itu memutar bola matanya, jengkel, “Sudah… lekas turun~”.
Keluarga kecil itu dengan bersemangat keluar dari rumah dan memasukkan barang-barang keperluan piknik kedalam bagasi mobil. Tidak lama seorang anak laki-laki seusia Athalia berlari-lari kecil menghampiri mereka.
“Kau datang sedetik lebih telat lagi, kami akan pergi tanpa mu!”, Seru Athalia sambil meninju pelan bahu teman laki-lakinya itu.
“Mana mungkin. Kau pikir siapa yang merengek meminta ku untuk ikut serta?”, ejek anak laki-laki itu.
“Maaf saya telat. Tadi tiba-tiba disuruh antar pesanan bubuk cocoa oleh Ayah.”, jelas anak laki-laki itu kepada kedua orang tua Athalia dengan senyum khas, menunjukkan gigi gingsulnya.
“Tidak apa, Ayahmu sehat?”, tanya Bunda Athalia kepadanya.
“Sehat Tante”, jawabnya masih sambil tersenyum.
“Syukur kalau begitu, ayo cepat masuk.. nanti kesiangan, panas disana.”
Sebelum masuk kedalam mobil, Athalia menarik lengan kemeja teman laki-lakinya, dan menengadahkan telapak tangannya, menagih sesuatu.
Anak laki-laki itu paham bahasa tubuh Athalia, dari dalam tas selempangnya dikeluarkannya bungkusan plastik penuh dengan cokelat yang dibungkus dengan kertas alumunium kuning, dan memberikannya kepada Athalia. “Ini dia hasil selundupan dari dapur pemilik kebun cokelat~”, desis Athalia.
“Kalau ketahuan Bunda mu, jangan seret aku. Cukup sehari kau makan dua!”, tegasnya.
“Iyaa”, sahut Athalia setengah tak peduli sambil memasukkan bungkusan plastik itu kedalam tasnya. Anak laki-laki itu hanya tersenyum melihat tingkah Athalia, gadis yang sudah lama ia sukai lebih dari sekedar teman.
Hari itu, mereka berempat menghabiskan waktu piknik yang sangat ceria dalam rangka memperingati hari ulang tahun pernikahan orang tua Athalia. Tidak ada yang menyangka bahwa hari itu akan menjadi hari paling memilukan untuk Athalia.
Mereka dalam perjalanan pulang ketika mobil yang dikendarai Athalia, orang tuanya dan teman laki-lakinya itu mengalami kebocoran ban. Ayah Athalia menepikan mobil di pinggir jalan, hari sudah mulai gelap.
“Ayah bawa ban pengganti kan?”, tanya Bunda Athalia
“Tentu..”, Jawab sang Ayah, ia menepuk punggung teman laki-laki Athalia, dan menunjuk bagasi, “Bantu saya ganti ban bisa kan?”
“Bisa Om”, jawab anak laki-laki itu sambil mengikuti Ayah Athalia.
Saat itu Athalia yang sedang tertidur didalam mobil terbangun, ia menurunkan kaca jendela dan bertanya pada ibunya yang bediri di samping mobil, “Ada apa Bunda?”
“Bannya bocor…..”, jawab Bundanya, sementara Ayah Athalia dan teman laki-lakinya sedang sibuk melepas ban yang rusak.
“Tolong pegang…”, Ayah Athalia yang sedang berjongkok memberikan kunci roda kepada teman laki-laki Athalia, namun tanpa sadar ia menerimanya dengan tangan kanan yang ia gunakan untuk menjaga ban, ban yang terlepas dari genggaman nya berguling ke arah jalan besar, menyadarinya anak laki-laki itu berlari mengejar ban tersebut.
Sementara dari arah yang berlawanan, tanpa ia sadari ada sebuah truk yang melintas. Bunda Athalia yang sedang berdiri di sisi mobil berlari kearah anak laki-laki tersebut untuk menariknya kembali ke sisi jalan, namun teman laki-laki putrinya itu sudah berlari ke tengah jalan, menyadari Istrinya dalam bahaya, Ayah Athalia dengan panik mengejarnya, Bunda Athalia berhasil mendorong teman laki-laki Athalia ke seberang jalan, disaat yang bersamaan Ayah Athalia meraih istrinya kedalam dekapannya, namun mereka tidak cukup cepat untuk menghindar dari laju truk, keduanya tewas di tempat. Semua terjadi begitu cepat.
Setelah hari itu, Athalia mengalami goncangan jiwa yang sangat berat. Dia akan menjadi histeris secara tiba-tiba. Terlebih setiap kali dia melihat teman laki-lakinya atau mendengar namanya. Hingga akhirnya Athalia menolak untuk mengingat sosok anak laki-laki itu. Pada suatu pagi Athalia terbangun dengan seluruh ingatan tentang teman laki-lakinya itu yang terkunci jauh didalam alam bawah sadarnya. Semenjak hari itu, tidak ada teriakan, tidak ada tangisan, pun tidak ada tawa dalam hari-hari Athalia.
***
Aku membuka kedua mataku, mimpi buruk panjang yang lama telah aku kunci dan kubur jauh dalam ingatanku kembali muncul. Mataku terasa panas, untuk pertama kalinya setelah 10 tahun, kedua pipiku basah oleh bulir-bulir air mata. Aku terbaring diatas kasur, rupanya aku tak sadarkan diri dan seseorang memindahkan ku kesini. Aku hanya terbaring, tak bergeming menatap langit-langit kamar. Aku terisak dalam diam. Dunia ku runtuh kembali.
Kini sepenuhnya hadir semua ingatan dari masa lalu. Dan aku tidak tahu bagaimana membendungnya. Ingin ku hentikan namun sia-sia. Rasa sakit di dada dan sekujur tubuh terus bertambah setiap detik tarikan napas ku. Ku tutup kedua mataku dengan lengan, “Ayah… Bunda… Thalia rindu..” lirih ku disela isakan tangis.
Beberapa hari berselang setelah pertemuan ku dengannya, aku terduduk diatas tempat tidurku, ditangaku ada sepucuk surat yang ia berikan padaku hari itu. Cukup lama aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk membukanya. Apakah itu sajak yang aku yakin tidak mampu lagi menenangkan diriku, atau apakah itu berisi bagian dari ingatan lain yang tidak aku inginkan, entah, aku ragu keduanya akan membuatku menjadi lebih baik.
Matahari mengintip dari balik tirai kamar yang enggan aku buka sejak hari itu, masih sama dengan angkuh nya, menatangku melawan takut ku.
Perlahan ku buka amplop putih gading itu, wangi coklat dari kertas surat yang biasanya membuat ku tenang, kini membuatku sesak.
Aku mulai membaca dalam diam…
“Teruntuk, Athaliya……
Seorang gadis berdiri dihadapanku tak bergeming
Kepalanya tertunduk namun ia tak menangis
Ku coba gapai dirinya dengan lengan-lengan ku yang sedih
Namun ia berlari pergi
Kini hanya ada diriku yang memeluk kehampaan yang kuciptakan sendiri
Athalia, nama yang ku ucap bukan lagi bagian dari doa, namun kini menjadi doa itu sendiri. Nama yang kusebut setiap kali kebencian ku atas diriku menggerogoti tiap-tiap jengkal dari tubuhku.
Athalia, nama yang melekat dibenakku lebih erat dari nama ku sendiri.
Athalia, melihat mu tersenyum kepada mentari setelah membaca potongan sajak yang ku tulis untukmu, sejenak membuat ku terlupa, bahwa di dunia ini, aku lah yang paling tidak pantas untuk menghiburmu.
Keegoisanku hampir menghancurkan mu sekali lagi
Maafkan kelancanganku, walau kata maaf tidak akan pernah cukup, dan ketahuilah aku adalah seseorang yang tidak pantas menerima pengampunan dari mu.
Ketika pekatnya kegelapan malam menjadi semakin panjang dan tak kunjung usai
Dan dinginnya , membekukan dinding-dinding kamar
dan setiap kenangan dalam genggamanmu
Ketika itu Athalia, tak akan kau temukan diriku lagi
Maka, berjalanlah hingga ke penghujung fajar
dan biarkan mentari pagi menyapamu
-- / --”
Malam itu, tidak ada air mata, sunyi.
Sang Rembulan Pagi kini kembali.